Senin, 04 April 2011

Syarat Sahnya Perjanjian

Bidang hukum merupakan suatu kajian keilmuan yang sangat luas, karena hukum meliputi seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk individu memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebagai makhluk individu yang memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri tentunya akan berpengaruh terhadap interaksinya dengan orang lain, banyak benturan antar kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat akan terjadi. Hal ini berkaitan dengan tujuan dari hukum, yaitu untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Salah satu aspek dalam hukum adalah hukum perdata, khususnya hukum perjanjian. Bidang hukum ini membahas mengenai keabsahan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, agar dapat dilindungi secara hukum. Perikatan itu sendiri dirumuskan sebagai hubungan hukum harta kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, dimana pihak yang satu wajib melakukan suatu perbuatan dan pihak yang lain berhak atas perbuatan tersebut, yang berlaku secara timbal balik.
Hukum perdata di Indonesia berpedoman pada Burgerlijk Wetboek (BW) atau biasa disebut juga dengan kitab undang-undang hukum perdata. Sistematisasi BW terbagi dalam empat bagian, yaitu :
1. Tentang Orang
2. Tentang kebendaan
3. Tentang perikatan
4. Tentang pembuktian dan daluarsa

Salah satu bahasan dalam Buku III BW mengatur mengenai perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yaitu mengenai syarat sahnya perjanjian dan akibat hukumnya. Pengaturan ini kita perlukan agar dalam merancang suatu kontrak atau perjanjian jangan sampai terdapat suatu defect atau cacat karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), ataupun penipuan (bedrog) karena hal-hal tersebut akan berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan (voidable atau vernietigbar) atau batal demi hukum (void atau nietig).
Berdasarkan permasalahan diatas maka isu hukum yang akan dibahas pada tulisan ini adalah :
“Apa syarat sahnya suatu perjanjian?”
a. Syarat sahnya suatu perjanjian
Untuk menyusun suatu konsep perjanjian yang baik, mutlak diperlukan dasar-dasar pengetahuan teori beserta dengan berbagai pengetahuan yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya perjanjian asuransi berkaitan dengan undang-undang perasuransian, perjanjian lisensi berkaitan dengan undang-undang hak cipta maupun undang-undang HKI lainnya, dan lain sebagainya.
Suatu perjanjian mengikat secara hukum apabila telah dipenuhi syarat-syarat berdasarkan pasal 1320 BW, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
“Kesepakatan “ mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian. Pernyataan kehendak bukan hanya dengan kata-kata yang tegas dinyatakan secara tegas, tetapi juga diwujudkan dengan adanya perbuatan yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan perjanjian. Ditutupnya perjanjian karena adanya pertemuan antara penawaran yang dilakukan oleh salah satu pihak dan penerimaan atas tawaran tersebut oleh pihak lainnya.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus ditutup tanpa adanya paksaan maupun kesesatan terhadap maksud perjanjian, benda/obyek perjanjian dan akibat hukum dari perjanjiannya. Karena kekeliruan terhadap hal ini berakibat cacatnya perjanjian.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Subyek hukum dalam suatu perjanjian dapat terdiri dari badan hukum ataupun orang. Kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat dirumuskan sebagai kemungkinan melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat. Pasal 330 BW berlaku bagi syarat seseorang melakukan perbuatan hukum, yaitu 21 tahun atau sudah pernah menikah, bagi badan hukum berlaku ketentuan dalam undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, yang menyatakan bahwa yang berhak mewakili suatu perseroan adalah direksi yang telah ditunjuk oleh ADART perusahaan atau pun orang yang telah ditunjuk untuk mewakili.
3. Suatu hal tertentu/obyek tertentu
Pernyataan-pernyataan yang sifat dan luasnya tidak dapat ditentukan, tidak mempunyai daya mengikat. Misalnya janji untuk menjual macam-macam rumah tanpa ditentukan rumah yang mana yang dimaksudkan sebagai obyek perjanjian.
4. Suatu sebab yang diperbolehkan
Adanya obyek tertentu dan sebab yang diperbolehkan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan adanya itikad baik dari para pihak, untuk melindungi para pihak pembuat perjanjian sendiri. Terdapat suatu perjanjian tanpa causa/sebab apabila sejak penutupan perjanjian tidak dapat diwujudkan. Namun, sebab yang diperbolehkan ini tentu ya juga terikat dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak bebas menentukan isi hubungan hukum, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang maupun kesusilaan dan ketertiban masyarakat.


tidak terpenuhinya syarat 1 dan 2 menyebabkan suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif dan berakibat perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat 3 dan 4 menyebakan tidak terpenuhinya syarat obyektif dan berakibat suatu perjanjian batal demi hukum.

3 komentar: