Sabtu, 19 Januari 2013

Kasus-Kasus Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi



Kasus Manipulasi KAP Andersen dan Enron
Sejak tahun 1985 Enron Corporation menggunakan jasa Arthur Andersen. Andersen melakukan audit internal dan audit external untuk Enron termasuk untuk kantor-kantor cabangnya. Enron corporation adalah salah satu klien terbesar Andersen dengan kontribusi omset sebesar $10 milyar per tahunnya.  
Dalam rangka memperbesar keuntungan yang selama ini telah diperoleh, dibukalah partnership-partneship yang diberi nama “special purpose partnership”. Partner dagang yang dimiliki oleh Enron hanya satu untuk setiap partnership dan partner tersebut hanya menyumbang modal yang sangat sedikit (hanya sekitar 3% dari jumlah modal keseluruhan). Orang awam pasti bertanya mengapa Enron berminat untuk berpartisipasi dalam partnership dimana Enron menyumbang 97% dari modal.
Muncul pertanyaan dari mana Enron membiayai partnership-partnership tersebut? Pembiayaan tersebut ternyata diperoleh Enron dengan “meminjamkan” saham Enron (induk perusahaan) kepada Enron (anak perusahaan) sebagai modal dasar partnership-partnership tersebut. Secara singkat, Enron sesungguhnya mengadakan transaksi dengan dirinya sendiri. Enron tidak pernah mengungkapkan operasi dari partnership-partnership tersebut dalam laporan keuangan yang ditujukan kepada pemegang saham dan Security Exchange Commission (SEC).
Lebih jauh lagi, Enron bahkan memindahkan utang-utang sebesar $US 690 juta yang ditimbulkan induk perusahaan ke partnership partnership tersebut. Total hutang yang berhasil disembunyikan adalah $US 1,2 miliar. Akibatnya, laporan keuangan dari induk perusahaan terlihat sangat atraktif, menyebabkan harga saham Enron melonjak menjadi $US90 pada bulan Februari 2001. Perhitungan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, Enron telah melebih-lebihkan laba mereka sebanyak $US650miliar.
Manipulasi yang dilakukan Enron selama bertahun-tahun ini mulai terungkap ketika Sherron Watskin, salah satu eksekutif Enron mulai melaporkan praktek tidak terpuji ini. Pada bulan September 2001, pemerintah mulai mencium adanya ketidakberesan dalam laporan pembukuan Enron. Pada bulan Oktober 2001, Enron mengumumkan kerugian sebesar $US618 miliar dan nilai aset Enron menyusut sebesar $US1,2 triliun dolar AS. Pada laporan keuangan yang sama diakui, bahwa selama tujuh tahun terakhir, Enron selalu melebih-lebihkan laba bersih mereka. Akibat laporan mengejutkan ini, nilai saham Enron mulai anjlok dan saat Enron mengumumkan bahwa perusahaan harus gulung tingkar, 2 Desember 2001, harga saham Enron hanya 26 sen. 
Komentar:
Dalam kasus ini terjadi penyimpangan atau pelanggalaran yang dilakukan pihak perusahaan (enron) dan pihak auditor. Besarnya jumlah consulting fees yang diterima Arthur Andersen menyebabkan KAP tersebut bersedia kompromi terhadap temuan auditnya dengan pihak Enron. Keduanya telah bekerja sama dalam memanipulasi laporan keuangan sehingga merugikan berbagai pihak baik pihak eksternal seperti para pemegang saham dan pihak internal yang berasal dari dalam perusahaan enron. Kecurangan yang dilakukan oleh Arthur Andersen telah banyak melanggar prinsip etika profesi akuntan diantaranya yaitu melanggar prinsip integritas dan perilaku profesional. KAP Arthur Andersen tidak dapat memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik sebagai KAP yang masuk kategori The Big Five dan tidak berperilaku profesional serta konsisten dengan reputasi profesi dalam mengaudit laporan keuangan dengan melakukan penyamaran data. Kasus ini memberi gambaran bagaimana sebuah pelanggaran etika dalam bisnis dan profesi seseorang dapat berakibat besar bagi kelangsungan hidup perusahan serta berbagai pihak yang terkait
Sumber :

Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan usaha milik negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di sini.
Di lain pihak, PT Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan tersebut hanya terjadi karena perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang yang tidak tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya, ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut. Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini.
Komentar:
PT KAI sebagai suatu lembaga memang memiliki kewenangan untuk menyusun laporan keuangannya dan memilih auditor eksternal untuk melakukan proses audit terhadap laporan keuangan tersebut. Tetapi, PT KAI tidak boleh mengabaikan dimensi organisasional penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Ada hal mendasar yang harus diperhatikannya sebagai wujud penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Auditor eksternal yang dipercayai harus benar-benar memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana berdasarkan kaidah-kaidah yang telah diakui validitasnya, dalam hal ini PSAK dan SPAP. Selain itu, auditor eksternal wajib melakukan komunikasi secara benar dengan komite audit yang ada pada PT Kereta Api Indonesia guna membangun kesepahaman (understanding) diantara seluruh unsur lembaga. Selanjutnya, soliditas kelembagaan diharapkan tercipta sehingga mempermudah penerapan sistem pengendalian manajemen di dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini menunjang perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat luas sebagai salah satu pengampu kepentingan.
Sumber:

Jumat, 18 Januari 2013

PROFESI AKUNTANSI PUBLIK SEBAGAI BAGIAN DARI GOOD CORPORATE GOVERNANCE



Ø  Prinsip-prinsip umum good corporate governance (GCG)
Tata kelola perusahaan yang baik atau GCG dianggap semakin penting sejak terjadinya berbagai mega skandal keuangan baik di indonesia maupun di negara-negara lain. GCG adalah salah satu alay untuk mencegah terjadinya skandal-skandal keuangan korporasi. Indonesia pernah mengalami keterpurukan ekonomi karena adanya penyalahgunaan dana bantuan lkuiditas bank indonesia (BLBI), kasus-kasus skandal koporasi seperti kasus PT. Kimia Farma,Tbk, kasus PT. Bnak Global,Tbk, kasus PT. Great River,Tbk, dan lain-lain. Demikian juga dengan amerika serikat yang pernah diterpa mega skandal koporasi seperi kasus Enron, Worldcom, Adelphia, Merck, Lucent Technologies dan lain-lain.
Skandal BLBI di indonesia dan mega skandal koporasi di amerika serikat menunjukkan lemahnya penerapan GCG dan pengawasan terhadap perilaku para eksekutif puncak. Akibatnya kepercayaan investor terhadap perilaku para eksekutif puncak. Akibatnya kepercayaan investor terhadap perusahaan-perusahaan menurun.di amerika serikat, krisis kepercayaan berujung kepada jatuhnya harga-harga saham ke titik terendah sejak runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York. Sementara di indonesia, kepercayaan masyarakat indonesia terhadap industri perbankan pernah berada pada titik yang paling rendah hingga pemerintah berinisiatif membentuk badan penyehatan perbankan nasioanal (BPPN) untuk menghindari adanya capital flight.
Sedemikian pentingnya isu GCG, hingga dorojatun Kuntjoro Djakti sebagaiman dikutip oleh Azhar Maksum menyatakan bahwa tidak ada negara yang kuat tanpa dunia usaha yang kuat. Salah satu faktor yang memerkuat dnia usaha adalah kondisi GCG perusahaan-perusahaan yang ada di suatu negara. Di indonesia, GCG menjadi isu nasional pada tahun 2000 atau pada saat perekonomian indonesia batu pulih dari kritis. Lemahnya penerapan GC dianggap sebagai salah satu penyebab kritis moneter yang terjadi di indonesia pada tahun 1997-1998.
Isu GCG merupakan wacana yang ramai dibicarakan di indonesia. Menurut Tjager sebagaimana dikutp oleh Arifin, istilah Good Corporate Governance pertama sekali diperkenalkan oleh Cadbury Committee Report. Isu GCG banyak membahas perlunya pemisahan antara pemegang saham (pemilik) dan direksi (pengelola) perusahaan. Konsep pemisahaan ini didasarkan pada teori keagenan (agency theory) yang dikembangkan oleh mivhael C. Jensen dan Wiliiam H. Meckling.
Konsep GCG banyak dipengaruhi oleh 2 (dua) teori, yaitu teori pemegang saham (shareholder) dan teori pemangku kepentingan (stakeholding). Teori pemegang saham atau biasa juga disebut dengan teori perusahaan klasik menganggap bahwa perusahaan didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kekayaan pemilik perusahaan, sedangkan teori stakeholding menganggap bahwa peruahaan adalah entitas yang berhubungan dengan pihak-pihak baik yang ada di dalam maupun di luar perusahaan yang memiliki kepentingan atau biasa disebut dengan stakeholder.
Surat keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117/M-MBU/2002 tentang penerapan Good Corporae Governance pada Badan Usaha Milik Negara (kep. Menneg BUMN No.117/M-MBU2002) telah menetapkan 4 (empat) prinsip GCG sebagaimana dijelaskan di bawah ini :
1.      Kewajaran
Prinsip kewajaran atau keadilan diartikan sebagai tindakan tidak membeda-bedakan para stakeholder. Manajemen dianggap sebagai agen sedangkan para stkeholder merupakan prinsipal. Dalam prinsip kewajaran atau keadilan, manajemen diharapakan tidak mengutamakan kepentingannya saja atau kepentingan pemegang saham saja, tetapi kepentingan semua stakeholder perusahaam. Penyajian laporan keuangan secara wajar kepada semua stakeholder merupakan wujud dari penerapan rinsip kewajaran (fairness).
2.      Transparasi
Transparasi adalah keterbukaan informasi kepada pihak stakeholder perusahaan. Manajemen  perusahaan harus dapat memberikan informasi terkait dengan kondisi keuangan dan operasiaonal perusahaan secara akurat, benat, dan tepat waktu.dengan adanya keterbukaan informasi tersebut, para stakeholder perusahaan yangmelakukan pengambilan keputusan diharapkan tidak tersesat.
3.      Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban menekankan adanya sistem yang jelas untuk mengatur makanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada para stakeholder perusahaan. Prinsip pertanggungjawaban berkaitan dengan kewajiban perusahaan mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.      Akuntabilitas
Prinsip akuntabilitas berkaitan erat dengan kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ, sehingga perusahaan dapa berjalan dengan efektif. Prinsip ini berhubungan dengan pengendalian terhadap hubungan organ-organ yang ada di perusahaan menyadari tanggung jawab, wewenang, hak dan kewajibannya.
            Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagaimana dikutip oleh tim studi BAPEPAM-LK, prinsip-prinsip GCG juga mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.      Memastikan dasar kerangka tata kelola perusahaan yang efektif
2.      Hak-hak pemegang saham dan fungsi-fungsi kepemilikan kunci
3.      Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham
4.      Peranan stakeholder dalam tata kelola perusahaan
5.      Pertanggungjawaban direksi
Prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan oleh tim studi BPEPAM-LK tersebut di atas juga tertuang dalam pedoman Umum GCG yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan GCG yang diterbitkan pada tahun 2006. BAPEPAM-LK tidak mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk menerapkan Pedoman Umum GCG tersebut. Sehingga tidak terdapat sanksi terhadap emiten atau perusahaan publik konsep GCG telah diadopsi ke dalam peraturan-peraturan yang diberlakukan oleh BAPEPAM-LK, seperti keberadaan komsaris independen, ketentuan terkait dengan rapat direksi dan komisaris, pelaksanaan tugas direksi dan komisaris dan lain-lain.
Sumber :
Buku Profesi Akuntan Publik di Indonesia, Marisi P. Purba, S.E.,AK,M.H.
Hal :17-26  

Kode Etik Profesi Akuntansi



Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat moral-moral dan mengatur tentang etika professional (Agnes, 1996). Pihak-pihak yang berkepentingan dalam etika profesi adalah akuntan publik, penyedia informasi akuntansi dan mahasiswa akuntansi (Suhardjo dan Mardiasmo, 2002). Di dalam kode etik terdapat muatan-muatan etika yang pada dasarnya untuk melindungi kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa profesi. Terdapat dua sasaran pokok dalam dua kode etik ini yaitu Pertama, kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara disengaja maupun tidak disengaja oleh kaum profesional. Kedua, kode etik bertujuan melindungi keluruhan profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang tertentu yang mengaku dirinya profesional (Keraf, 1998).
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode etik ini mengikat para anggota IAI dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI. Di Indonesia, penegakkan kode etik dilaksanakan sekurang-kurangnya enam unit organisasi, yaitu Kantor Akuntan Publik, Unit Peer Review Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Badan Pengawas Profesi Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Dewan Pertimbangan Profesi-IAI, Departemen Keuangan RI dan BPKP. Selain enam unit organisasi di atas, pengawasan terhadap kode etik juga dilakukan oleh para anggota dan pemimpin KAP.
Kode etik akuntan merupakan norma dan perilaku yang mengatur hubungan antara auditor dengan para klien, antara auditor dengan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Kode etik akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktek sebagai auditor, bekerja di lingkungan usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan. Etika profesional bagi praktek auditor di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (Sihwajoni dan Gudono, 2000).
Prinsip perilaku profesional seorang akuntan, yang tidak secara khusus dirumuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tetapi dapat dianggap menjiwai kode perilaku IAI, berkaitan dengan karakteristik tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan.




Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

(1) Prinsip Etika,
(2) Aturan Etika, dan
(3) Interpretasi Aturan Etika.

1.   Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia
1.      Tanggung jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2.      Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
3.      Integritas
Untuk memelihara clan meningkatkan kepercayaan publik, Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
4.      Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5.      Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati­hatian, kompetensi clan ketekunan, Berta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
6.      Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kiewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7.      Perilaku Profesional
Setiap Anggota harus berperilaku yang konsisten dalam reputasi profesi yang baik clan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8.      Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas clan obyektivitas.
Sumber :
http://dhyladhil.blogspot.com/2012/11/kode-etik-profesi-akuntansi.html